BAB I
PEMBUKAAN
PEMBUKAAN
Negara demokrasi adalah negara yang mengikutsertakan
partisipasi rakyat dalam pemerintahan serta menjamin terpenuhinya hak dasar
rakyat dalam kehidupan berbangsa, dan bernegara. Salah satu hak dasar rakyat
yang harus dijamin adalah kemerdekaan menyampaikan pikiran, baik secara lisan
maupun tulisan.
Pers adalah salah satu sarana bagi warga negara untuk
mengeluarkan pikiran dan pendapat serta memiliki peranan penting dalam negara
demokrasi. Pers yang bebas dan bertanggung jawab memegang peranan penting dalam
masyarakat demokratis dan merupakan salah satu unsur bagi negara dan pemerintahan
yang demokratis. Menurut Miriam Budiardjo, bahwa salah satu ciri negara
demokrasi adalah memiliki pers yang bebas dan bertanggung jawab.
• Pengertian Pers
Ada 2 pengertian tentang pers, yaitu sbb :
1. Dalam arti sempit : Pers adalah media cetak yang mencakup surat kabar, koran, majalah, tabloid, dan buletin-buletin pada kantor berita.
2. Dalam arti luas : Pers mencakup semua media komunikasi, yaitu media cetak, media audio visual, dan media elektronik. Contohnya radio, televisi, film, internet, dsb.
• Pengertian Pers
Ada 2 pengertian tentang pers, yaitu sbb :
1. Dalam arti sempit : Pers adalah media cetak yang mencakup surat kabar, koran, majalah, tabloid, dan buletin-buletin pada kantor berita.
2. Dalam arti luas : Pers mencakup semua media komunikasi, yaitu media cetak, media audio visual, dan media elektronik. Contohnya radio, televisi, film, internet, dsb.
· Perkembangan Pers di Indonesia
Sejarah perkembangan pers di Indonesia tidak terlepas dari sejarah politik Indonesia. Pada masa pergerakan sampai masa kemerdekaan, pers di Indonesia terbagi menjadi 3 golongan, yaitu :
Sejarah perkembangan pers di Indonesia tidak terlepas dari sejarah politik Indonesia. Pada masa pergerakan sampai masa kemerdekaan, pers di Indonesia terbagi menjadi 3 golongan, yaitu :
1. Pers Kolonial
adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Belanda di Indonesia pada masa
kolonial atau penjajahan. Pers kolonial meliputi surat kabar, majalah, dan
koran berbahasa Belanda, daerah atau Indonesia yang bertujuan membela
kepentingan kaum kolonialis Belanda.
2. Pers Cina
adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Cina di Indonesia. Pers Cina
meliputi koran-koran, majalah dalam bahasa Cina, Indonesia atau Belanda yang
diterbitkan oleh golongan penduduk keturunan Cina.
3. Pers Nasional
adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Indonesia terutama orang-orang
pergerakan dan diperuntukkan bagi orang Indonesia. Pers ini bertujuan
memperjuangkan hak-hak bangsa Indonesia di masa penjajahan. Tirtohadisorejo
atau Raden Djokomono, pendiri surat kabar mingguan Medan Priyayi yang sejak
1910 berkembang menjadi surat kabar harian serta dianggap sebagai tokoh
pemprakarsa pers Nasional.
Adapun perkembangan Pers Nasional dapat dikategorikan menjadi beberapa peiode, yaitu sebagai berikut :
1. Tahun 1945 – 1950-an
Pada masa ini, pers sering disebut
sebagai pers perjuangan. Pers Indonesia menjadi salah satu alat perjuangan
untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Beberapa hari setelah teks proklamasi
dibacakan Bung Karno, terjadi perebutan kekuasaan dalam berbagai bidang
kehidupan masyarakat, termasuk pers. Hal yang diperebutkan terutama adalah
peralatan percetakan.
Pada bulan September-Desember 1945,
kondisi pers RI semakin kuat, yang ditandai oleh mulai beredarnya koran Soeara
Merdeka (Bandung), Berita Indonesia (Jakarta), Merdeka, Independent, Indonesian
News Bulletin, Warta Indonesia, dan The Voice of Free Indonesia.
2. Tahun 1950 – 1960-an
Masa ini merupakan masa pemerintahan parlementer atau masa demokrasi liberal. Pada masa demokrasi liberal, banyak didirikan partai politik dalam rangka memperkuat sistem pemerintah parlementer. Pers pada masa itu merupakan alat propaganda dari Partai Politik. Beberapa partai politik memiliki media massa cetak atau koran sebagai corong partainya. Pada masa itu, pers dikenal sebagai pers partisipan.
Masa ini merupakan masa pemerintahan parlementer atau masa demokrasi liberal. Pada masa demokrasi liberal, banyak didirikan partai politik dalam rangka memperkuat sistem pemerintah parlementer. Pers pada masa itu merupakan alat propaganda dari Partai Politik. Beberapa partai politik memiliki media massa cetak atau koran sebagai corong partainya. Pada masa itu, pers dikenal sebagai pers partisipan.
3. Tahun 1970-an
Orde baru mulai berkuasa pada awal tahun 1970-an. Pada masa itu, pers mengalami depolitisasi dan komersialisasi pers. Pada tahun 1973, Pemerintah Orde Baru mengeluarkan peraturan yang memaksa penggabungan partai-partai politik menjadi tiga partai, yaitu Golkar, PDI, dan PPP. Peraturan tersebut menghentikan hubungan partai-partai politik dan organisasi massa terhadap pers sehingga pers tidak lagi mendapat dana dari partai politik.
Orde baru mulai berkuasa pada awal tahun 1970-an. Pada masa itu, pers mengalami depolitisasi dan komersialisasi pers. Pada tahun 1973, Pemerintah Orde Baru mengeluarkan peraturan yang memaksa penggabungan partai-partai politik menjadi tiga partai, yaitu Golkar, PDI, dan PPP. Peraturan tersebut menghentikan hubungan partai-partai politik dan organisasi massa terhadap pers sehingga pers tidak lagi mendapat dana dari partai politik.
4. Tahun 1980-an
Pada tahun 1982, Departemen Penerangan mengeluarkan Peraturan Menteri Penerangan No. 1 Tahun 1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Dengan adanya SIUPP, sebuah penerbitan pers yang izin penerbitannya dicabut oleh Departemen Penerangan akan langsung ditutup oleh pemerintah. Oleh karena itu, pers sangat mudah ditutup dan dibekukan kegiatannya. Pers yang mengkritik pembangunan dianggap sebagai pers yang berani melawan pemerintah. Pers seperti ini dapat ditutup dengan cara dicabut SIUPP-nya.
Pada tahun 1982, Departemen Penerangan mengeluarkan Peraturan Menteri Penerangan No. 1 Tahun 1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Dengan adanya SIUPP, sebuah penerbitan pers yang izin penerbitannya dicabut oleh Departemen Penerangan akan langsung ditutup oleh pemerintah. Oleh karena itu, pers sangat mudah ditutup dan dibekukan kegiatannya. Pers yang mengkritik pembangunan dianggap sebagai pers yang berani melawan pemerintah. Pers seperti ini dapat ditutup dengan cara dicabut SIUPP-nya.
5. Tahun 1990-an
Pada tahun 1990-an, pers di Indonesia mulai melakukan repolitisasi lagi. Maksudnya, pada tahun 1990-an sebelum gerakan reformasi dan jatuhnya Soeharto, pers di Indonesia mulai menentang pemerinah dengan memuat artikel-artikel yang kritis terhadap tokoh dan kebijakan Orde Baru. Pada tahun 1994, ada tiga majalah mingguan yang ditutup, yaitu Tempo, Detik, dan Editor.
Pada tahun 1990-an, pers di Indonesia mulai melakukan repolitisasi lagi. Maksudnya, pada tahun 1990-an sebelum gerakan reformasi dan jatuhnya Soeharto, pers di Indonesia mulai menentang pemerinah dengan memuat artikel-artikel yang kritis terhadap tokoh dan kebijakan Orde Baru. Pada tahun 1994, ada tiga majalah mingguan yang ditutup, yaitu Tempo, Detik, dan Editor.
6. Masa Reformasi (1998/1999) sampai Sekarang
Pada masa reformasi, pers Indonesia menikmati kebebasan pers. Pada masa ini terbentuk UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Era reformasi ditandai dengan terbukanya keran kebebasan informasi. Di dunia pers, kebebasan itu ditunjukkan dengan dipermudahnya pengurusan SIUPP. Sebelum tahun 1998, proses untuk memperoleh SIUPP melibatkan 16 tahap, tetapi dengan instalasi Kabinet BJ. Habibie proses tersebut melibatkan 3 tahap saja.
Pada masa reformasi, pers Indonesia menikmati kebebasan pers. Pada masa ini terbentuk UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Era reformasi ditandai dengan terbukanya keran kebebasan informasi. Di dunia pers, kebebasan itu ditunjukkan dengan dipermudahnya pengurusan SIUPP. Sebelum tahun 1998, proses untuk memperoleh SIUPP melibatkan 16 tahap, tetapi dengan instalasi Kabinet BJ. Habibie proses tersebut melibatkan 3 tahap saja.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
KEBEBASAN
PERS adalah
kebebasan mengemukakan pendapat, baik secara tulisan maupun lisan melalui media pers
seperti harian, majalah dan buletin. Kebebasan pers dituntut tanggung jawabnya
untuk menegakkan keadilan, ketertiban dan keamanan dalam masyarakat bukan untuk
merusaknya. Selanjutnya komisi kemerdekaan pers menggariskan lima hal yang
menjadi tuntutan masyarakat modern terhadap pers yang merupakan ukuran
pelaksanaan kegiatan pers yaitu:
1.
Pers
dituntut untuk menyajikan laporan tentang kejadian sehari-hari secara jujur,mendalam
dan cerdas.
2.
Pers dituntut untuk menjadi sebuah forum
pertukaran komentar dan kritik,yang berarti pers diminta untuk menjadi wadah
dikalangan masyarakat.
3.
Pers hendaknya menonjolkan sebuah gambaran
yang representative dari kelompok-kelompok dalam masyarakat.
4.
Pers hendaknya bertanggung jawab dalam
penyajian dan penguraian tujuan dan nilai-nilai dalam masyarakat.
5.
Pers
hendaknya menyajikan kesempatan kepada masyarakat untuk memperoleh berita
sehari-hari,ini berkaitan dengan kebebasan informasi yang diminta masyarakat.
Adapun landasan hukum kebebasan pers di Indonesia termaksud
dalam :
Undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang kebebasan menyampaikan pendapat dimuka umum.
Undang-undang No. 40 Tahun 1998 tentang pers dan Undang-undang No. 32 tahun 2002 tentang penyiaran.Pers, Masyarakat dan Pemerintah.
Undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang kebebasan menyampaikan pendapat dimuka umum.
Undang-undang No. 40 Tahun 1998 tentang pers dan Undang-undang No. 32 tahun 2002 tentang penyiaran.Pers, Masyarakat dan Pemerintah.
Hal terpenting yang harus diperhatikan berkaitan antara
pers,masyarakat dan pemerintah adalah sebagai berikut :
·
Interaksi
harus dikembangkan sekreatif mungkin untuk tercapainya tujuan pembangunan yaitu
kesejahteraan manusia dan masyarakat Indonesia seutuhnya.
Negara-negara demokrasi liberal barat mendasarkan kehidupan dan dinamikanya pada individu dan kompetisi secara antagonis,sedangkan Negara-negara komunis berdasarkan pada pertentangan kelas yang bersifat dialektis materiil.Adapun Negara Indonesia yang berdasarkan pancasila berpaham pada keseluruhan dan keseimbangan baik antara individu dan masyarakat maupun antara berbagai kelompok sosialnya.
Negara-negara demokrasi liberal barat mendasarkan kehidupan dan dinamikanya pada individu dan kompetisi secara antagonis,sedangkan Negara-negara komunis berdasarkan pada pertentangan kelas yang bersifat dialektis materiil.Adapun Negara Indonesia yang berdasarkan pancasila berpaham pada keseluruhan dan keseimbangan baik antara individu dan masyarakat maupun antara berbagai kelompok sosialnya.
·
Antara
pemerintah,pers dan masyarakat harus dikembangkan hubungan fungsional
sedemikian rupa,sehingga semakin menunjang tujuan bersama yaitu terwujudnya
masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila dalam Negara kesatuan Republik
Indonesia.
·
Hubungan
antara masyarakat pers dan masyarakat sesungguhnya merupakan perwujudan dari
nilai-nilai pancasila,sehingga mampu membangkitkan semangat patriotisme
pengorbanan tanpa pamrih dan dedikasi total terhadap kepentingan rakyat banyak.
·
Baik
untuk menjamin tercapainya sasaran maupun karena sesuai dengan asas demokrasi
pancasila maka dalam hubungan fungsional antara pemerintah,pers dan masyarakat
perlu dikembangkan kultur politik dan mekanisme yang memungkinkan berfungsinya
system kontrol sosial dan kritik secara efektif dan terbuka.
·
Pembangunan
masyarakat bisa berlangsung dalam pola evolusi,reformasi dan revolusi.Jika kita
menempatkan pembangunan nasional Indonesia kedalam salah satu dari ketiga
kategori itu,maka yang paling tepat ialah pola reformasi.
Seluruh bidang kehidupan masyarakat yang hendaknya dibangun,tetapi pelaksanaanya bertahap dan selektif.
Seluruh bidang kehidupan masyarakat yang hendaknya dibangun,tetapi pelaksanaanya bertahap dan selektif.
·
Adanya
kekurangan merupakan gejala umum yang harus kita terima bersama,agar dalam
melakukan koreksi kita tidak menimbulkan apatisme dan antipati melainkan justru
menggairahkan usaha-usaha perbaikan dan pembangunan itu sendiri
Hubungan
antara pemerintah,pers dan masyarakat merupakan hubungan kekerabatan dean
fungsional yang harus terus menerus dikembangkan dalam mekanisme dialog. Dalam konteks
ini perlu dikembangkan adanya mekanisme efektif oleh masyarakat pers itu
sendiri untuk mengatur perilaku kehidupannya.
Jadi bila dibahas lebih spesifik lagi pers memang “lahir” ditengah-tengah masyarakat sehingga pers dan masyarakat merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pers “lahir” untuk memenuhi tuntutan masyarakat untuk memperoleh informasi yang aktual dengan terus menerus mengenai peristiwa-peristiwa besar maupun kecil.
Jadi bila dibahas lebih spesifik lagi pers memang “lahir” ditengah-tengah masyarakat sehingga pers dan masyarakat merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pers “lahir” untuk memenuhi tuntutan masyarakat untuk memperoleh informasi yang aktual dengan terus menerus mengenai peristiwa-peristiwa besar maupun kecil.
Menurut Wilbur
Schramn pers bagi masyarakat adalah Watcher Forum And Teacher ( pengamat,forum
dan guru ).Maksudnya adalah setiap hari pers memberi laporan dan ulasan
mengenai berbagai macam kejadian dalam dan luar negeri secara tertulis dan
nilai-nilai kemasyarakatan dari generasi ke generasi.
Dampak Penyalahgunaan
Kebebasan Media massa dalam penyampaian beritanya untuk kehidupan masyarakat
memiliki manfaat yang cukup besar.Mereka menggunakan alat atau media seperti
Koran,radio,televisi,seni pertunjukan dan lain sebagainya.peralatan tersebut
dapat digunakan untuk menyampaikan pesan,namun jika fungsi penyampaian
informasi/berita disalahgunakan hal ini dapat berdampak sebagai berikut antara
lain : Fungsi media massa sebagai alat pendidikan masyarakat tidak lagi menjadi
cara yang kuat, penayangan adegan yang tidak layak dimedia-media elektronik
begitulah wajah kebebasan pers Indonesia saat ini. Disatu sisi menanamkan
tanggung jawab sosial,namun disisi lain keberadaanya dikhawatirkan
menghancurkan moral bangsa ini. Inilah efeknya pers yang dihasilkan wajah pers Indonesia
dengan karakter yang beragam seperti sekarang.
· PERS DAN POLITIK
1. Hubungan Pers dan
Politik Tinjauan History
Pada era reformasi saat ini, ada
fenomena yang menarik kaitannya politik dan pers. Banyak wartawan ikut
serta terjun ke dunia politik. Para wartawan kini bukan hanya memberitakan
pendidikan politik “dua+dua=empat”. Mereka juga ingin menjadi balon (bakal
calon) yang ingin memimpin dan menjadi pemimpin.
2. Hubungan Pers dan
Politik Kini.
Maka itu, jika wartawan kini berpolitik
terang-terangan memang punya sejarahnya. Jika mereka menjadi
corong rakyat bukanlah hal yang tidak mugkin.Jika mereka mematut-matut diri di
rapat partai politik, tidak perlu heran bahkan, jika mereka
nanti ikut bergoyang dombret, dipanggung kampanye, janagan
ditertawakan. Pun untuk yang menjadi peserta who want to be president?
Kenapatidak? Duduk perkaranya tinggal di soal, bisakah ia melaksanakan tugas
kewartawanan dengan baik? Bukankah wartawan punya tugas yang cukup berat? “wartawan
harus berpegang teguh pada kebenaran dan setia kepada rakyat” tegas Bill Kovach
dan Tom Rosendstiel (2001). Wartawan
bekerja demi kemaslahatan publik. Ia tidak boleh gampang was-was dan berpihak
pada urusan selainberita.Kerja memverifikasi beritanya, selain harus transparan dan sistematis, mesti
independen. Tidak selingkuh dengan partai poitik atau penguasa atau
pengusaha.Sebab bisakah mengharapkan wartawan
meliput secara benar orang yangmemiliki hubungan personal,
intim dan loyalitas dengannya?Harus ada jarak personal agar wartawan. Bisa
meliput dan menilai beritadengan mandiri,. Dari sanalah, antara lain kebenaran,
sebagai penyampai kisahyang punya kredibilitas.Pengakuan tersebut diperoleh
tidak take of garanted. Tetapi secara berulang-ulang, terus-menerus, diupayakan
melalui pelbagai kode dan konvensi kebenaran.
3. Pers negatif dan positif.
Tatkala angin reformasi berhembus
dengan kencang, koridor demokrasi pun perlahan tetapi pasti mulai terkuak.
Ruang publik yang sebelumnya penuh dengan jaring laba-laba kekuasaan yang
setiap saat bisa membelenggu kebebasan pers Indonesai. Suara-suara alternatif
yang sekian lama mengendap dibalik bilik kebisuan publik tiba-tiba menyeruak,
seperti burung yang lepas dari sangkarnya,terbang kesana kemari. Kalau kita
coba lukiskan perkembangan pers Indonesia akhir-akhir ini, paling tidak ada
beberapa hal penting yang menunjukan perubahan wajah pers pasca-Soeharto.
Pertama, deregulasi media yang dilakukan rezim pasca-Soeharto seperti ditandai
dengan dipermudahnya memperoleh izin dan dicabutnya sistem SIUPP telah
menyebabkan maraknya penerbitan pers. Sayangnya peningkatan kuantitasmedia,
belum dengan sendirinya disertai oleh perbaikan kualitas
jurnalismenya.Sementara media yng cenderung partisan terus melakukan
“sensasionalisme bahasa” seperti tampak
lewat pemilihn judul (headline)
yang bombantis atau desain cover yang
norak, majalah dan tabloid hiburan justru melakuakn “vulgariasasi” dan “erotisasi” informasi seks. Kalau bisa disebut
sebagai persnegatif, seperti itulah kriterianya.Kedua, maraknya apa yang
disebut sebagai “media baru” (new media) dikalangan masyarakat kita akhir-akhir
ini. Untuk menyebut di antaranya adalah internet dan teknologi multimedia
yang semakin canggih. Akses internet membawa budaya baru dalam
pemanfaatan waktu luang (leisure time). Dengan Internet, batas-batas ruang dan
waktu telah musnah. Dan banyak lagi nilai manfaat dan nilai positif yang bisa
diambil dan digunakan oleh pengguna media, demiefisiensi dan efektif kegiatan
sehari-hari, tak berlebih jika kategori pers seperti adalah pers
positif.Ketiga, menguatnya fenomena aoa
yag dikenal sebagai tesisi “imprealismemedia. Fenomena ini disebablan
globaliasi media transnasional dan invasi produk hiburan impor yang menguasasi
pasar media dalam negeri.
·
POTRET PERS DI INDONESIA
1. Permasalahan dalam kebebasan pers
Kebebasan
pers yang muncul pada masa era reformasi ini ternyata membawa permasalahan
baru. Peningkatan kuantitas penerbitan pers yang tajam (booming),tidak
disertai dengan pernyataan kualitas
jurnalismenya. Sehingga banyak tudingan "miring" yang dialamatkan
pada pers nasional. Seperti kecurigaan pada praktek "jurnalisme preman",
"jurnalisme pelintiran",
"jurnalisme omongan", dan tudingan-tudingan negative lainnya.
Ada juga media massa yang dituduh melakukan sensionalisme bahasa melalui
pembuatan judul (headlines) yang
bombasis, menampilkan "vulgarisasi:
danerotisasi informasi seks. Tetapi tentu saja kita tidak dapat melakukan
generalisasi,harus diakui, bahwa masih banyak media massa yang mencoba tampil
denganelegan dan beretika, daripada yang menyajikan informasi sampah dan
berselerarendah (bad taste). Kemungkinan lain penyebab pers terus disorot,
bahkan ada yang menyebut pers “kebablasan” adalah karena kurang profesionalnya jajaran
aratwannya,kekurangan yang paling uatam adalah soal kemampuan memahami
permasalahanyang akan diberitakan dan
teknis ketermapilan menuliskannya. Untuk
itu,wartawan di era reformasi perlu menguasai pengetahuan umum, skill, dan
kepandaan menulis serta berapresiasi dalam kebebasan yang komperhensif dan
partisipatif. Memang era reforamsi
melahirkan dilema, masyarakat belum mamahami betul apa itu kebebasan
pers serta apa yang akan dirasakan dari kebabasan itu sendiri. Masyarakat belum
sadar sebenarnya kebebasan tersebut bukanlah untuk kepentingan kalangan pers
sendiri, sebab secara tidak langsung ataupun langsung pers nasional merupakan
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan bangsa dan negara.
2. Masyarakat
yang jenuh media.
Para
ahli menyebut budaya dan masyarakat muktahir sebagi masyarakat yang jenuh
dengan media(media saturrated society). Masyarakat muktahir adalah masyarakat
yang dilimpahi dengan informasi berupa gambar, teks, bunyi, dan pesan-pesan
visual, masyarakat yang dibanjiri informasi dan pesan-pesan komersial.
Mayarakat yang jenuh media ternyata juga telah menyebabkan narkotisasimedia
bagi masyarakat. “narkotiasasi” adalah sebuah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan efek negatif atau efek menyimpang(dysfunction) dari medai
massa. Istilah ini sebenarnya berasal dari PaulF.Lazarsfeld dan Robert K
Merton. Dalam eseinya, “Mass Comuniation, Popular Tate and Organized Social
Action” (1984), mereka menggunakan istilah “narkotizing Dysfunction” untuk
menyebut konsekuensi sosial dari media massa yang sering diabaikan. Media massa
mereka pandang sebagai peneyabab apatisme politik dan keleusan massa.
· KEBEBASAN PERS ATAU KEBABLASAN PERS
1. Antara kebebasan dan kebablasan
Apa yang pantas kita perbincangkan
wajah pers nasional saat ini? Ada yang mengatakan, pers kita tengah memasuki
sebuah era baru, era penuh kebebasan. Ini sejalan dengan perubahan pada
konstalasi politik dan konstitusi nasional, yang memungkinkan para insan pers
tidak lagi harus merasa jeli oleh kemungkinan kena brendel atau Surat Izin
Usaha Penerbitan Pers (SIUPP)-nya dicabut. Eurofia kebebasan ini mewabah di
mana-mana. Usaha penerbitan bermunculan bak cendawan di musim hujan. Namun,
pada saat bersamaan muncul juga pendapat bahwa kebebasan perskita sudah
kelewatan, alias kebablasan. Dalam hal ini pers dianggap sudah keluar dari
batas kepatutan atas peran yang dimainkannya. Di sana-sini muncul suara keluhan
dan nada ketir masyarakat, yang pada
intinya bermuara pada keprihatianan terhadap pemberitaan media massa yang
sebagian diantaranya terkesan tidak lagi mempertimbangkan dampaknya pada
khalayak dan tiadanya unsur prioritas pemberitaan. Berbicara tentang pers,
tentulah kita harus memasukan semua jenis media massa, mulai dari cetak,
elektronik, hingga cyber media. Tak bisa dibantah,keprihatinan publik ada
benarnya. sejumlah fakta sudah demikian terbuka untuk bisa dijadikan alasan. Di ketiga jenis media
massa tersebut, kita bisa menyaksikan sejumlah
distorsi dan
penyelewengan-penyelewengan
fungsi pers, mulai dari pemberitaan yang tidak akurat, kurang
memerhatikan unsur cover both side, diabaikannya kaidah-kaidah kode etik jurnalistik
(KEJ), hingga seringnya terjadi praktik pemeasan dan intimidasi oleh insan
pers. Yang tak kalah menyeramkan adalah tayangan televisi dan internet, yang
bukan saja dianggap mengeksploitasi pornografi dan kekerasan sehingga dianggap
meresahkan masyarakat, tetapi juga sudah mengganggu dan merampas kenyamanan
publik yang menjadi objek pemberitaan itu sendiri. ada baiknya coba kita
hitung, adakah kerugian psikologis yang dialami seseorang yang sengaja
“dijebak” menajdi objek dalam sebuah acara yang seolah-olah dirinya
dikejar-kejar hantu atau menjadi seorang tersangka dalam sebuah tindak
kriminal. Bisa juga disodorkan kasus adegan syur Yahya Zaini dan Maria Eva.
Apakah ini pertanda bahwa wajah pers kita demikian buruknya? Kita memang harus
berani mengatakan bahwa dalam dinamikanya, pers kita masih dalam proses
pendewasaan. cukup wajar jika di sana-sini masih jumpai sejumlah kelemahan,
distorsi atau malah penyewengan. Meski demikian,memvonis pers sebagai
satu-satunya pihak yang bersalah juga rasanya tak adil. Jika wajah pers
demikian buruk, bukankah itu menjadi gambaran masyarakat kita sendiri?
Barangkali, ada perlunya kita cermati pernytaan Prof, Stephen Hill,Direktur
UNESCO Indonesia. Menurutnya, media hanyalah alat legitimasi perilaku dan
tindakan bukan alat yang menciptakan keduanya. Karena itulah, barangkali yang
harus diuapayakan agar wajah pers tidak seburuk sekarang, adalah bagaimana menciptakan sebuah titik temu atau keseimbangan antara kebebasan yang
dimiliki media massa dan garis batas yang boleh dilaluinya. Keseimbangan itu harus dibuat dengan tanggung
jawab, bukan dengan pengekangan. Tanggung jawab media dalam membangun budaya
harus diletakkan pada pengembangan kemampuan pekerja di media massa itu
sendiri. Dan itu hanya mungkin bisa dilakukan jika memang perangkat hukum yang
ada dinegeri ini mamapu mengakomodasikan peran dan fungsi pers tanpa harus
kehilangan wibawanya. Bagaimaan pun, pers bisa memainkan dua sisi yang berbeda.
Pers bisa menjadi faktor kunci yang memberikan pencerahan dan mencerdaskan bagi
publik. Menumbuhkan rasa optimisme, dan bahkan
menguatkan budaya bangsa. Namun pada sisi lain, pers juuga bisa
melumpuhkan, menjadi alat perusak taat nan kehidupan, bahkan disintegrsaikan
bangsa. Untuk itulah, seklai lagi, sangat dibutuhkan, satu titik temu dan
kesamaan pandang mengani sosok pers nasional.
2. Ancaman Kebebasan Pers
Ancaman terberat bagi kemerdekaan
pers d Indonesia saat ini justru dari kelompok massa. Walaupun ada ancaman dari
pemerintah, polisi, maupun tentara,namun ancaman tersebut dari lembaga-lembaga
tersebut atau perorangan dalam lembaga itu bisa lebih terkontrol, karena mereka
punya pemimpin yang bisa dimintai pertanggung jawaban dan lembaga-lembaga itu
mempunyai aturan baku yang dapat dijadikan rujukan. Ancaman lain terhadap
kemerdekaan pers adalah tidak kalah pentingnya adalah dari peraturan perundangan
lainnya, khususnya KUH pidana dan KUH perdata. peristiwa yng menimpa Tempo,
Koran Tempo, Rakyat Merdeka, dan koran lainnya menjadi pelajaran yang berharga
bagi masyarakat pers dan penyiaran. Banyak orang bahkan para penegak hukum yang
lebih memilih peraturan perundangan di luar UU no.40/1999 tentang Pers, dari
pada menggunanakan uu Pers itu sendiri, dalam menyelesaikan masalah
pemberitaan.
BAB III
PENUTUP
· KESIMPULAN
Kebebasan pers yang sedang kita nikmati sekarang
memunculkan hal-hal yang sebelumnya tidak diperkirakan. Suara-suara dari pihak
pemerintah misalnya, telah menanggapinya dengan bahasanya yang khas: kebebasana
pers di indoesia telah kebablasan! Sementara
dari pihak masyarakat, muncul
pula reaksi yang lebih konkert bersifat fisik. Barangakali, kebebasana
pers di Indonesia telah mengahsilkan berbagai ekses. Dan hal itu makin
menggejala tampaknya arena iklim kebebasan tersebut tidak dengan sigap diiringi
dengan kelengakapan hukumnya. Bahwa kebebasan persakan memunculkan kebabasan,
itu sebenarnya merupakan sebuah konsekuensiyan wajar. Yang kemudian harus
diantisipasi adalah bagaimana agar kebablasan tersebut tidak berkelanjutan
kemudian diterima sebagai kewajaran.